GKJW MOJOWARNO BERDAMAI DENGAN PERBEDAAN
Kebebasan beragama di Indonesia telah disebutkan dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”. Pada pasal tersebut telah dijelaskan bahwa setiap individu memiliki kebebasan dalam menganut kepercayaannya masing-masing. Pemerintah tidak melarang maupun mengharuskan warga negaranya memeluk agama tertentu saja.
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang masyarakatnya mayoritas memeluk agama islam. Presentase menunjukkan bahwa penganut agama islam di Indonesia mencapai 87.2% dari total penduduk di Indonesia. Sedangakan untuk non-muslim sendiri memiliki presentase 12.2% dari total penduduk di Indonesia dan sisanya menganut paham ateis. Sebagai negara mayoritas muslim menjadikan masyarakat Indonesia menerima kenyataan pluralitas. Masyarakat non-muslim juga bisa memiliki hak yang sama sebagaimana hak warga negara Indonesia. Pada kesempatan kali ini saya akan sedikit memaparkan hasil wawancara dari salah seorang warga minoritas yang saya temui beberapa hari lalu.
Pada wawancara lalu, saya banyak bertanya-jawab mengenai toleransi beragama di Indonesia. Saya melakukan wawancara dengan bapak Monte. Beliau merupakan salah satu anggota jemaat Kristen dari Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno, Jombang. Beliau menuturkan bahwa nilai toleransi di Indonesia sangat baik. Seperti yang kita ketahui Kabupaten Jombang merupakan salah satu daerah yang kental akan nilai religius keislamannya. Kabupaen Jombang juga dijuluki sebagai kota santri karena di kota ini lah lahir para pahlawan islam Indonesia seperti KH. Wahid Hasyim dan Gus Dur. Kecamatan Mojowarno yang terletak di Kabupaten Jombang menjadi salah satu pusat penyebaran agama Kristen di Jawa Timur. Dimana daerah ini dulunya hanya ditinggali oleh masyarakat beragama Kristen saja. Seiring waktu pertumbuhan penduduk semakin bertambah sehingga mau tidak mau daerah Mojowarno harus membuka diri untuk hidup berdampingan dengan penganut agama lain. Sampai saat ini masyarakat Jombang tetap bisa menerapkan prinsip nilai toleransi beragama dan saling membantu satu sama lain.
Pada dasarnya nilai toleransi yang ditanamkan pada masyarakat Indonesia telah mengakar dalam jati diri bangsa Indonesia. Kebebasan dalam beragama untuk memilih agama dan menganut kepercayaan masing-masing adalah hak mutlak bagi setiap individu. Dalam konteks sejarah teori pluralisme ada sejak pemerintahan Gus Dur, dimana pada masa ini Gus Dur sangat terbuka dengan perbedaan agama yang ada di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu telah memicu banyak kesalahpahaman tentang perbedaan agama yang disebabkan kelatahan masyarakat dalam menerjemahakan kebebasan beragama. Selain itu, juga adanya ideologi keagamaan yang selalu disalah artikan sehingga menyebabkan tumbuhnya radikalisme di masyarakat.
Paham radikalisme ini muncul karena masuknya islamisme khas Timur Tengah yang menyusup dalam islam Indonesia. Radikalisme ini juga menyebabkan turunnya nilai toleransi di masyarakat terutama masyarakat kecil komunitas islam yang salah mengartikan paham-paham islam yang baru masuk. Hal ini tentu membuat banyak masyarakat.
Hasil penuturan dari bapak Monte juga menyebutkan bahwa saat ini beliau merasa kurang aman akan mulai berkembangnya paham radikalisme di Indonesia. Beliau juga ingin agar pemerintah lebih memperhatikan masyarakat minoritas karena takut akan adanya kejadian terorisme yang banyak dilakukan terhadap masyarakat minoritas terutama masyarakat beragama Kristen. Melihat berbagai macam kejadian radikalisme yang ada di Indonesia membuat banyak orang khawatir terhadap keamanan dan kedamaia negara Indonesia. Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang mutlak dan harus dihargai. Negara dan masyarakat tidak berhak untuk membatasi seseorang dalam menjalankan agama dan ibadahnya.
Melihat dari kejadian yang ada beberapa hari lalu dengan adanya peristiwa bom bunuh di depan Gereja Katerdal Makassar membuat banyak masyarakat minoritas terutama mayarakat beragama Kristen merasa tidak aman lagi. Masyarakat minoritas menjadi takut akan adanya kejadian yang sama suatu saat nanti. Pada peristiwa ini pelaku melakukan tindakannya atas nama islam. Tindakan tersebut membuat perpecahan antar umat beragama di Indonesia. Menanggapi peristiwa tersebut Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyebutkan “ Terorisme itu tidak ada kaitannya dengan agama, tidak ada agama yang memberikan toleransi terjadinya terorisme kekerasan sampai membunuh orang lain bahkan dirinya sendiri itu tidak ada hubungan. Karena itu seluruh tokoh agama mengutuk perbuatan itu,” dalam rekaman suara Setwapres, Rabu (31/3/2021).
Dari peristiwa tersebut kita dapat mengambil pelajaran bahwa agama ada untuk membawa kedamaian bagi pemeluknya masing-masing. Agama bukan sekadar status kepemilikan, namun agama merupakan kepercayaan setiap individu kepada Tuhan. Agama harus dijadikan sebagai inspirasi dalam pembangunan bangsa, bukan sebagai aspirasi. Sebagai bangsa yang menghargai perbedaan seharusnya dapat menjunjung tinggi sikap toleransi seperti semboyan bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu. Masyarakat dan pemerintah harus bekerjasama dalam menjaga kedamain agama di Indonesia.
Sikap toleransi beragama akan menciptakan kedamaian berwarganegara dan rasa aman terhadap masyarakat di negara tersebut. Wawancara dengan bapak Monte telah banyak membuka pandangan saya terhadap toleransi beragama dan saling menghargai satu sama lain. Meskipun terdapat berbagai perbedaan yang ada seharusnya tidak menjadikan kita luput akan hak dan kewajiban masing-masing. Pelajaran berharga agar kita dapat memberi tempat yang aman dan nyaman bagi banyak orang serta dapat menjadi tempat berlindung dari kerasnya dunia akan sangat membantu meringankan beban tanggung jawab dan membawa perdamaian bagi dunia.
0 Response to "GKJW MOJOWARNO BERDAMAI DENGAN PERBEDAAN "
Posting Komentar